Senin, 22 Agustus 2022 - 17:13:58 WIB

Manipulasi Jalan Keadilan Melalui Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Penulis : Redaksi
Kategori: POLITIK DAN HUKUM - Dibaca: 788 kali


Pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD dan Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengklaim bahwa Keppres Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu adalah terobosan pemerintah, atas tertundanya proses pembentukan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan proses penyelidikan dan penyidikan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung yang tidak ada titik temu.

Hendardi, Ketua SETARA Institute menilai, klaim ini adalah cara negara memanipulasi jalan keadilan bagi korban yang sama sekali tidak akan melimpahkan keadilan dan menyajikan pembelajaran berharga bagi bangsa atas kejahatan-kejahatan masa lalu.

"Argumen KKR yang belum dibahas, bisa dibantah, mengapa baru berpikir menyelesaiakan pelanggaran HAM di sisa masa jabatan? Padahal sejak awal menjabat, bahkan sejak era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, baik melalui Wantimpres RI maupun melalui Menkopolhukam, desakan, aspirasi, diskusi dan langkah-langkah penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sudah pernah dibahas. Berkali-kali elemen korban, termasuk kelompok masyarakat sipil dimintai pendapat. Tetapi nyatanya harapan itu diabaikan dengan membentuk Keppres yang lebih menyerupai Panitia Santunan bagi korban lalu kemudian dianggap telah menyelesaikan tuntutan keadilan penanganan pelanggaran HAM masa lalu", papar Hendardi kepada redaksi, Senin (22/8).

Menurut Hendardi, Presiden Jokowi tidak menangkap pesan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-V/2007, tertanggal 21 Februari 2008, yang pada intinya penentuan kualifikasi pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 bukanlah domain DPR. Tetapi kewenangan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, yang tanpa menunggu keputusan DPR, Kejaksaan Agung memulai suatu proses penyidikan. Tugas DPR kemudian hanyalah merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM kepada Presiden RI.

"Dengan demikian, jalan penyelesaian yudisial sebenarnya tidak ada kebuntuan, kalau Jokowi bisa mendisiplinkan Jaksa Agung untuk melanjutkan tahap penyidikan atas hasil kerja Komnas HAM. Faktanya, Jaksa Agung selalu berlindung, menunggu adanya keputusan DPR", ujarnya.

Pembentukan UU KKR, lanjut Hendardi, semestinya pula bisa diakselerasi, jika Jokowi mampu mendisiplinkan jajaran pemerintahannya plus partai-partai pendukungnya. Merevisi UU Minerba, UU KPK, bahkan membahas UU Cipta Kerja, Jokowi dan jajarannya bisa melakukan dengan begitu cepat. Mengapa untuk KKR Jokowi terus menunda? "Klaim bahwa jalan yudisial masih bisa dijalankan secara paralel adalah kosmetik politik yang ditujukan untuk melemahkan penentangan atas ide Keppres ini", imbuhnya.

"Judul Keppres saja penyelesaian non-yudisial, maka peristiwa pelanggaran HAM berat itu dianggap sudah selesai. Seharusnya, pilihan yudisial atau non yudisial ini adalah produk akhir setelah sebuah komisi yang mengungkap kebenaran pelanggaran HAM berat selesai bekerja. Bukan sejak awal ditetapkan jalur non yudisial, karena itu artinya menegasikan jalan keadilan yang lebih obyektif, yakni jalur yudisial", tambah Hendardi.

Hendardi menilai, dari seluruh jejak advokasi penyelesaian pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, tampak Presiden Jokowi-lah yang paling lemah secara kepemimpinan, sehingga ide dan rencana pemutihan pelanggaran HAM bisa diakomodasi dan menjadi kebijakan Presiden. "Posisi Mahfud MD dan Jaleswari Pramodhawardani dapat dipahami dan sudah seharusnya membela produk kerja Presiden Jokowi, sekalipun itu berpotensi memanipulasi keadilan", tandasnya.